Garangindonesia.com – Pesta rakyat demokrasi pilkada serentak sebentar lagi akan dilaksanakan di seluruh Indonesia terkhusus di Kabupaten Aceh Tamiang , salah satu penggiat kontrol sosial Koordinator Yayasan Panca Psikologi ( Yappi ) Aceh Tamiang Gusti Chandra, S.Psi sapaan akrabnya Gusti memberikan pandangan soal calon pemimpin yang akan dicalonkan parpol dan dipilih rakyat mendatang. Selasa, (28/05/2024).

Menurut Gusti memilih seorang pemimpin harus didasari banyak hal, mulai dari rekam jejak, pengalaman atau prestasi dan juga harus pro rakyat, hingga gagasan yang ditawarkan bagi kemakmuran rakyat ke depan dapat terwujudkan.

Gusti juga menegaskan bahwa rekam jejak seorang calon pemimpin harus dilihat apakah ia punya pengalaman dan memiliki integritas, memiliki kapasitas (berkemampuan memimpin dan berani mengeksekusi program), dan juga punya kecukupan finansial untuk kepentingan kampanye dan operasional pemenangan.

Gusti juga mengungkapkan, calon pemimpin daerah juga harus berani dan tegas serta berkomitmen menolak money politics. Kenapa money politics harus ditolak?

“Karena politik uang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak integritas sistem demokrasi. Bahaya politik uang sangat serius karena dapat mengakibatkan terpilihnya pemimpin yang tidak kompeten atau tidak bermoral, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap masyarakat secara keseluruhan,” paparnya.

Dijelaskan, politik uang merusak prinsip dasar demokrasi, yaitu pemilihan yang bebas dan adil. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pemilih seharusnya menentukan pilihannya berdasarkan program kerja, visi, dan integritas calon.

Namun, dengan adanya politik uang, keputusan pemilih dapat dipengaruhi oleh iming-iming uang atau barang, sehingga pilihan tersebut tidak lagi mencerminkan kehendak yang sesungguhnya.

“Politik uang cenderung melahirkan pemimpin yang korup. Kandidat yang mengandalkan uang untuk memenangkan pemilihan cenderung memiliki motif untuk mengembalikan investasi mereka setelah terpilih. Ini bisa memicu berbagai bentuk korupsi, mulai dari penyalahgunaan anggaran negara hingga menerima suap untuk keputusan-keputusan penting. Akibatnya, pelayanan publik menjadi buruk dan tidak efisien,” tambahnya.

Selain itu dikatakan Gusti, bahaya politik uang dapat memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketika kandidat yang kaya menggunakan kekayaannya untuk membeli suara, mereka yang kurang mampu akan semakin tersisih dari proses politik.

Ini menciptakan siklus ketidakadilan di mana hanya mereka yang memiliki sumber daya besar yang dapat bertahan dan berkembang dalam dunia politik, sementara masyarakat miskin semakin terpinggirkan.

“Ketika masyarakat melihat bahwa suara mereka dapat dibeli, mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi dan pemerintah yang ada. Ini dapat menyebabkan apatisme politik, di mana warga negara tidak lagi tertarik untuk berpartisipasi dalam proses politik, karena merasa suaranya tidak berarti,” Tutupnya. (Ca)